Senin, 07 November 2011

KRATON YOGYAKARTA


KEBERADAAN KERATON YOGAYAKARTA DI ERA SEBELUM REFORMASI
Pada masa sebelum kemerdekaan Republik Indonesia keraton berfungsi sebagai
a.       Sebagai tempat tinggal raja dan keluarganya
b.      Sebagai pusat pemerintahan
c.       Sebagai pusat kebudayaan dan pengembangannya
Keraton Yogyakarta yang bangunannya menempati kawasan seluas 14.000 meter pesegi itu mempunyai arti yang sangat penting. Pertama, keraton Yogyakarta merupakan simbol eksistensi kerajaan Mataram yang kejayaannya masyur di jaman dulu. Berdasar perjanjian Giyanti (1755), Kasultanan Yogyakarta merupakan penerus sah kerajaan Mataram.
Kedua, keraton atau keratuan (ke-ratu-an) atau dalam bahasa Jawa kedhaton, adalah tempat tinggal raja dan tempat bersemayam raja. Kalau rakyat hendak menghadap raja, mereka harus datang ke keraton ini. Pada masa silam, para wakil kawulo (rakyat) harus berbusana putih-putih dan berjemur di alun-alun keraton untuk menghadap raja (tradisi laku pepe).
Ketiga, keraton merupakan pusat pemerintahan politis. Wilayah kekuasaan kasultanan diklasifikasi menurut konsep lapisan konsentris trimandala praja. Lapisan terdalam yang merupakan wilayah pusat kerajaan disebut nagara. Ini adalah ibukota kerajaan yang menjadi tempat tinggal raja dan para pejabat penting. Pusat nagara adalah keraton. Lapisan kedua disebut wilayah nagaragung, yaitu daerah-daerah sekitar kota (ommanlanden). Lapisan ketiga disebut wilayah monconagara, yaitu daerah-daerah yang jauh (buiten-gawesten).
Keempat, keraton Yogyakarta adalah pusat kebudayaan Jawa. Dari sinilah kebudayaan Jawa dikembangkan, ditularkan, dan diwariskan. Keraton mempunyai ahli-ahli budaya dan para pujangga. Raja yang arif seperti HB I adalah pencipta dan pengembang kebudayaan yang kreatif. Ia mewariskan pemikiran-pemikiran filosofis dan juga karya-karya seni.
Kelima, keraton adalah pusat kerohanian (spiritualitas). Raja adalah seorang panatagama atau kalifatulah, yaitu seorang pemimpin agama. Keraton Yogyakarta juga merupakan pusat kekuatan magis yang terhubung dengan garis lurus mistis dengan kekuatan spiritual gunung Merapi di sebelah utara dan kekuatan spiritual samudera Hindia (kerajaan Nyai Roro Kidul) di sebelah selatan.
Wibawa keraton sebagai pusat eksistensi Mataram, pusat kekuatan politis, pusat budaya, dan pusat spiritualitas masih terasa sampai sekarang. Ketika Sri Sultan Hamengku Buwono IX mangkat (3 Oktober 1988), ratusan ribu rakyat membanjiri ke keraton. Seluruh Yogyakarta berkabung. Pemerintah RI menetapkan tujuh hari berkabung nasional. Gejala-gejala spiritual pun terjadi. Saat itu, di langit muncul pelangi putih aneh yang dipercaya sebagai tanda kematian (teja bathang). Saat jenazah HB IX disemayamkan, hujan aneh turun di Yogyakarta. Hujan aneh juga tumben turun di Washington D.C. (Amerika Serikat) pada hari meninggalnya HB IX di rumah sakit yang ada di kota metropolitan itu. Dahulu, saat HB VIII wafat (22 Oktober 1939), mendadak petir (halilintar) meledak di langit Yogyakarta yang cerah. Menurut buku Babad Tanah Jawi, gunung-gunung meletus pada hari wafatnya Sultan Agung.

B.     KEBERADAAN KERATON YOGYAKARTA DI ERA SETELAH KEMERDEKAAN
 Pasca Proklamasi Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945, dari sejarah Perang Kemerdekaan [1945 – 1949] memang tercatat bahwa selain secara fisik sebagai ibukota Republik Indonesia [6 Januari 1946 – 27 Desember 1949], Jogjakarta khususnya Keraton Jogjakarta adalah juga benteng terakhir Republik Indonesia saat Perang Kemerdekaan II berkecamuk [1948-1949] setelah Perjanjian Renville.
Setelah RI merdeka dan Sri Sultan HB IX bersama Paku Alam VIII menyatakan bergabung dan mendukung RI, Pemerintah Pusat memberi sebuah Piagam Kedudukan. Inilah yang merupakan embrio Keistimewaan Yogya. Ini sebenarnya juga merupakan pengakuan, penghargaan, dan perjanjian antara RI dan pihak Kraton yang sampai saat itu berkuasa atas wilayah dan rakyat Yogya.
Sampai Reformasi 1998 bergulir, meskipun keistimewaan Yogya juga tidak jelas secara hukum, eksistensi Kraton dan kepemimpinannya terbukti mampu membawa Yogya bertumbuh. Dwi tunggal HB IX dan PA VIII menjadikan Yogya termasyur karena perjuangannya. Pada masa-masa awal Orde Baru, HB IX berperan besar untuk menyelamatkan kondisi ekonomi bangsa Indonesia. Dwi tunggal HB X dan PA IX selama ini juga telah menunjukkan kontribusi yang signifikan bagi pengembangan Yogya. Semua itu telah membuktikan bahwa kerabat Kraton (Sri Sultan dan keturunannya, Paku Alam dan keturunannya) mempunyai visi, komitmen, integritas, dan kapasitas untuk memimpin Yogya.
Pada masa kemerdekaan Republik Indonesia keraton berfungsi sebagai :
a.       Sebagai obyek wisata dan pengembangan ilmu pengetahuan
b.      Sebagi Museum Perjuangan Bangsa
Dibanding dengan Kraton Yogya, Republik Indonesia adalah sebuah peradaban yang masih sangat muda. Yogya turut membidani kelahiran peradaban baru itu. Ketika RI mengalami masa-masa kelahiran yang sangat kritis, Yogya memberi diri menjadi “ibu pengasuh” dengan segala pengorbanannya. Secara politis itu sangat jelas, ibukota RI dipindah ke Yogya (sejak 1946), Kraton (Sri Sultan HB IX) mengatur strategi Serangan Umum 1 Maret 1949 untuk menunjukkan eksistensi RI di mata dunia, dan sebagainya.
Sejak awal, Yogya telah memberikan banyak nutrisi bagi pertumbuhan peradaban Indonesia. RI bagaikan anak bayi yang menyusu pada Yogya sebagai induk semangnya. Banyak gagasan peradaban muncul dari Yogya. Dalam dunia pendidikan misalnya, pemikiran Ki Hadjar Dewantoro merupakan bukti sumbangsih kearifan lokal Yogya bagi kemajuan peradaban modern Indonesia.
Ketika bangsa Indonesia mengalami krisis peradaban, Yogya tampil untuk memberikan koreksi. Sebagai contoh adalah koreksi Sri Sultan HB X terhadap kepemimpinan Orde Baru yang menyalahgunakan konsep kearifan Jawa tentang “ora ilok” (tidak layak), “mbeguguk mangutho waton” (keras kepala), “mbalelo” (memberontak), “aja dumeh” (jangan merasa sok), “unggah-ungguh” (sopan santun), “tepo-slira” (tenggang rasa), dan “ewuh pakewuh” (rasa segan). Inilah kritik peradaban yang dilontarkan Sultan HB X dalam orasi Reformasi 1998 silam: “Ora ilok diartikan tidak boleh mengkritik penguasa. Mbeguguk mangutho waton dan mbalelo hanya disandangkan bagi rakyat yang menuntut haknya sehingga pantas digebug dan dilibas, bukan bagi penguasa yang sudah tidak bisa lagi menangkap aspirasi rakyat, karena terlalu asyik dengan permainan kekuasaan saja. Aja dumeh malah dialamatkan bagi rakyat yang tergusur, bukan bagi mereka yang menggusur dan makmur di atas beban pundak rakyat banyak. Unggah-ungguh, tepo sliro, dan ewuh pakewuh hanya boleh dikenal oleh rakyat, bukan pejabat yang korup, main kolusi, dan sebagainya. Inilah saudara-saudaraku, yang dinamakan krisis moral, yang berlanjut pada krisis kepercayaan rakyat kepada penguasa!” Hal itu menunjukkan betapa orang Yogya dengan Kraton sebagai pusat peradaban (kearifan asli) masih perlu memberikan nutrisi bagi pertumbuhan peradaban Indonesia.

1 komentar: